Manusia Konkret itu Belum Ada dan Belum Menjadi

Manusia Konkret itu Belum Ada dan Belum Menjadi

Opini:
Manusia Konkret itu Belum Ada dan Belum Menjadi
Oleh Djoko Sukmoni

Filosofi
Manusia fiktif berkeliaran di setiap lorong-lorong kehidupan sosial. Manusia seperti ini bukanlah manusia yang sesungguhnya (yang eksistensial), melainkan hanya model desain dari berbagai kategori-kategori.

Namun, sebuah perjalanan eksistensial dari anak manusia akan diikuti oleh anak-anak manusia yang lainnya, yang sudah menyadari historisitasnya sebagai manusia Konkret.

Prolog
Suku Bangsa Manusia

Perjalanan eksistensial suku bangsa manusia di muka bumi adalah perjalanan panjang yang dalam pandangan eksistensialnya bernama transhistorisitas.

Eksistensi suku bangsa manusia tidak berdasarkan pandangan-pandangan historis tertentu yang regional primordial, juga tidak berlandaskan kepada asal-usul yang ditulis secara sistematis kronologis, namun berada pada posisi tempat yang bernama situasi batas sosial konkret.

Anak manusia di abad ke-21 ini, di tahun 2025 ini, sudah tidak membutuhkan lagi pengetahuan tentang asal-usul manusia, baik yang berdimensi religius maupun yang berbasiskan pemikiran-pemikiran.

Asal-usul suku bangsa manusia yang berdimensi religius bagi anak-anak manusia abad ke-21 ini tidaklah mungkin ada gunanya bagi eksistensinya dan justru memperkeruh situasi sosialnya.

Anak manusia abad ke-21 adalah anak-anak manusia yang beranggapan bahwa menjalani kehidupan sosial saat ini lebih penting ketimbang menatap masa lalu yang abu-abu.

Bagi suku bangsa manusia, yang terpenting saat ini adalah bagaimana bisa melanjutkan perjalanan eksistensinya di tengah-tengah pergaulan dan persaingan global.

Situasi sosial-politik saat ini secara global telah mengalami kesenjangan yang berada dalam cengkeraman hukum rasional perubahan.

Restrukturisasi sosial sedang terjadi di hampir semua negara yang ada di dunia. Negara-negara terancam eksistensinya.

Bangsa-bangsa yang telah ada, yang diakibatkan oleh imperialisme dan kolonialisme, mengalami kejenuhan ideologis dikarenakan menjadi bangsa yang sedemikian itu adalah pembebanan bagi anak-anak suku bangsa manusia di dalam men-dunia.

Sebuah peristiwa politik mampu mengubah keadaan yang bermanifestasi dalam bentuk-bentuk dekonstruksi sosial.

Jika situasi sosial mengarah pada destruksi, maka hanya tinggal menunggu hingga tiba pada situasi batas sosial, karena arah pergerakan sejarah hanya sampai pada situasi batas sosial tersebut.

Selanjutnya, pilihan yang tersisa adalah kompromi atau entropi. Inilah yang disebut misteri politik, yang bisa berakibat mencerahkan atau justru menimbulkan kegelapan.

Yang menjadi itu selalu berada pada posisi situasi batas sosial. Yang menjadi seperti ini adalah suatu kondisi yang selalu dipicu oleh peristiwa-peristiwa sosial-politik, sosial-budaya, dan sosial-ekonomi.

Ketiga pemicu tersebut sering kali menggerus nilai-nilai fundamental kemanusiaan, yakni kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan.

Pembangkangan terhadap rezim politik, sosial, maupun keagamaan sudah terjadi di berbagai negara dan pada berbagai bangsa di dunia. Hal ini adalah sebuah peristiwa yang sering kali terjadi dalam perjalanan bangsa-bangsa.

Namun, yang tidak terhindarkan adalah kemauan sejarah dari berbagai suku bangsa manusia untuk mewujudkan kehendak untuk berkuasa. Dan itu terus-menerus terjadi sebagai panggilan sejarah.

Perjalanan eksistensial suatu bangsa akan sampai kepada situasi batas yang bernama titik ultimasi.

Pada titik itu, capaian-capaian yang digerakkan oleh para pejuang pemikir bangsa berakhir menjadi masa lalu yang tak terelakkan.

Masa depan bangsa masih melambaikan tangannya di depan sana, namun terhalang oleh dimensi misteri.

Ketika bangsa tersebut hanya terjebak pada konsep kebangsaan yang abstrak, maka bangsa itu akan hilang ditelan dimensi misteri.

Namun, jika bangsa tersebut tunduk kepada hukum rasional sejarah, niscaya eksistensinya tetap utuh, dan itulah kesempatan emas untuk menjadi bangsa yang besar.

Itulah hukum rasional perubahan. Hanya sekali di dalam sejarah suatu bangsa itu besar.

Yang Belum Tiba itu bernama Manusia Konkret, sedangkan inisial yang mengklaim dirinya sebagai manusia itu belum menjadi manusia konkret, bahkan bukan manusia sama sekali, karena untuk menjadi manusia membutuhkan proses yang panjang.

Cobalah mengerti, apakah manusia itu? Manusia ialah eksistensi yang beresensi.

Eksistensi adalah dasar kesungguhan dari keberadaan manusia, esensi adalah dasar kemungkinan dari keberadaan manusia.

Dengan demikian, di dalam men-dunia, manusia dapatlah didefinisikan sebagai berikut:

Manusia adalah dimensi yang multi-kompleks, konkret, dan individual, hidup di dalam ruang dan waktu, berada pada posisi esensinya, bergerak pada situasi batas sosialnya yang utuh sebagai eksistensi yang otentik.

Dengan yang sedemikian itu, apakah manusia konkret itu sudah ada? Jawabannya adalah belum menjadi.

Sampai kapan manusia konkret itu tiba? Inilah pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang manusia konkret, yang konkret di dalam ruang dan waktu, yang konkret berada pada situasi batas jalan sejarah. Sebuah renungan tentang manusia konkret.

Penghalang utama terwujudnya Manusia Konkret adalah rezim politik, sosial, dan keagamaan. Ketiga rezim tersebut dalam sejarah masa lalunya adalah yang menjadikan timbulnya tragedi-tragedi kemanusiaan.

Namun, saat ini, di abad ke-21, di tahun 2025, telah mengarah kepada polarisasi, yang dalam hukum berpikir sepertinya tidaklah mungkin.

Artinya, polarisasi bertentangan dengan cara berpikir analitis maupun cara berpikir dialektis.

Namun, jalan polarisasi adalah pilihan yang lebih konstruktif dalam mengantisipasi situasi sosial, politik, ekonomi, dan ideologis yang masih terus-menerus memicu konflik berkepanjangan, misalnya konflik di Timur Tengah.

 

Posted: sarinahnews.com
Surabaya, 6 Mei 2025

Oleh : Djoko Sukmono, Badan Pendidikan dan Pelatihan, Gerakan Pemuda Nasionalis Marhaenis (NASMAR)