Opini:
Sejarah Politik Internasional dan Pengaruhnya Bagi Indonesia
Oleh Djoko Sukmono
Merdeka secara substansial adalah bebas berpikir. Bebas menyatakan Pendapat. Bebas mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan.
(Djoko Sukmono)
Merdeka adalah ungkapan sakral yang digali dari nilai-nilai fundamental kemanusiaan. Merdeka merupakan kebutuhan otentik dari setiap anak manusia yang tinggal di muka bumi.
Merdeka tidak hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia saja, namun ungkapan merdeka adalah milik segala bangsa dan segenap anak manusia yang tidak pandang latar belakang agama, ras, mupun budaya.
Merdeka tidak datang tiba-tiba dari langit. Merdeka juga bukan warisan leluhur.
Merdeka adalah ungkapan sakral yang di dalam manifestasinya membutuhkan perjuangan dan pengorbanan.
Secara esensial Merdeka memiliki katagori yang mencakup seluruh aspek kehidupan sosial manusia, yakni:
Merdeka adalah bebas dari Kemiskinan, Merdeka adalah bebas dari rasa takut, Merdeka adalah bebas dari kebodohan, dan Merdeka adalah bebas dari penjajahan.
Kemudian dari pada itu Merdeka secara substansial adalah bebas berpikir, bebas menyatakan pendapat, dan bebas mendapatkan pekerjaan yang layak bagi demanusiaan.
Di dalam proses sejarah, Merdeka adalah nilai-nilai keutamaan Kemanusiaan. Dia adalah merdeka belajar, yaitu kebebasan di dalam memilih yang dipelajarinya sesuai dengan potensi setiap individu.
Belajar bukan lagi bentuk bentuk Imperialisme yang sentralistik.
Merdeka dan Politik
Sebuah argumen filosofis menyatakan bahwa merdeka itu berakar dari proses pencerahan yang terjadi di dalam sejarah peradaban manusia.
Revolosi politik di Peeancua dengan Libertynya, dengan Egalitynya, dengan Fraternitynya sanggup menggugah kalbu manusia yang selama ratusan tahun tertidur lelap dikarenakan dininabobokkan oleh Tirani.
Dikarenakan terinspirasi oleh Revolusi Politik di Perancis itulah muncullah deklarasi kemerdekaan diberbagai negara di dunia.
Deklarasi Kemerdekaan di Amerika Serikat Kajian Filsafat Politik
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, yang disahkan pada 4 Juli 1776, bukan sekadar pernyataan politik pemisahan dari Kerajaan Britania Raya.
Ia adalah proklamasi metafisis tentang hakikat manusia, kekuasaan, dan legitimasi pemerintahan.
Dalam dokumen ini, para pendirinya tidak hanya mengklaim kemerdekaan, melainkan juga menyusun suatu filsafat politik baru yang akan mendasari pembentukan republik modern.
Secara historis, deklarasi ini lahir dari konflik panjang antara koloni-koloni Amerika dan mahkota Inggris.
Di bawah Raja George III, para kolonis mengalami serangkaian kebijakan yang mereka anggap tiranik—pajak tanpa perwakilan, pembatasan perdagangan, serta pengiriman pasukan tanpa persetujuan.
Tetapi ketidakpuasan ini tidak serta merta menjadi pemberontakan; ia membutuhkan rasionalisasi normatif, kerangka yang membenarkan tindakan radikal: ‘Pemisahan!’
Dalam konteks ini, Thomas Jefferson—penulis utama deklarasi—menyusun sebuah argumen filosofis yang berakar dalam Pencerahan.
Ia menyatakan bahwa “Semua manusia diciptakan setara,” dan bahwa “Mereka dikaruniai oleh Penciptanya dengan hak-hak yang tak dapat dicabut.”
Di sini, kita melihat pengaruh John Locke, khususnya gagasan tentang hak-hak kodrati (natural rights) sebagai fondasi pemerintahan yang sah.
Hak-hak ini, menurut deklarasi, mencakup: “Hidup, kebebasan, dan upaya mencapai kebahagiaan.”
Pernyataan ini adalah versi Amerika dari Life, Liberty, and Property milik Locke, yang menunjukkan bahwa kepemilikan tidak lagi dipandang sebagai titik akhir politik, melainkan sarana menuju kebahagiaan sebagai tujuan etis.
Ada pergeseran dari hak milik sebagai pusat legitimasi menuju subjektivitas moral individu.
Pemerintahan, lanjut Jefferson, dibentuk “Untuk mengamankan hak-hak ini,” dan memperoleh “Kewenangannya yang sah dari persetujuan mereka yang diperintah.”
Di sini filsafat politik transendental digantikan oleh kontraktualisme: Pemerintahan tidak turun dari Tuhan, melainkan bangkit dari kehendak bersama individu merdeka. Kedaulatan berpindah dari raja ke rakyat.
Ketika suatu pemerintahan gagal mengamankan hak-hak tersebut, rakyat tidak hanya memiliki hak, tetapi kewajiban untuk menggantikannya.
Ini adalah prinsip revolusioner: Legitimasi bukan hasil stabilitas atau keturunan, tetapi dari keberlanjutan perlindungan atas hak kodrati.
Maka, revolusi dipandang bukan sebagai kekacauan, melainkan sebagai pemulihan tatanan moral.
Deklarasi tidak berhenti di teori; Ia memperinci lebih dari dua puluh tuduhan terhadap Raja George III sebagai bukti tirani.
Dalam konteks ini, filsafat politik menyatu dengan retorika hukum: Keadilan menjadi wacana publik, bukan sekadar diskursus elitis. Raja tidak hanya dikritik, ia diadili oleh opini dunia dan prinsip akal budi universal.
Lebih dari sekadar dokumen legal, deklarasi ini menciptakan subjek politik baru: Warga negara.
Individu tidak lagi semata-mata subjek hukum, tetapi pemilik hak yang mendahului negara.
Negara bukanlah sumber hak, melainkan instrumen yang tunduk pada prinsip-prinsip moral yang lebih tinggi. Ini adalah pembalikan radikal dari teokrasi dan absolutisme.
Namun demikian, filsafat dalam deklarasi tetap terjebak dalam paradoks. “Semua manusia diciptakan setara,” namun perbudakan tetap berlangsung.
Hak universal dinyatakan, tetapi hanya berlaku bagi laki-laki kulit putih pemilik tanah. Maka, dokumen ini adalah juga medan konflik antara ideal dan realitas—konstitusi moral yang belum selesai.
Deklarasi Kemerdekaan menjadi titik awal dalam sejarah modern tentang pencarian legitimasi politik melalui prinsip-prinsip rasional dan moral.
Ia bukan sekadar teks pendiri negara, tetapi juga semacam manifesto filsafat politik yang mengundang pembacanya untuk terus menafsirkan ulang apa artinya menjadi manusia, bebas, dan berdaulat dalam sejarah.
Seiring waktu, ”Ungkapan Kata Merdeka” menjadi tuntutan Kemanusiaan yang fundamental.
Tragedi demi Tragedi terjadi di muka bumi dalam rangka manifestasi ungkapan sakral, ”Merdeka” tersebut.
Dengan alasan demi terwujudnya Bangsa Arya (Bangsa Jerman) yang merdeka sekaligus menjadi bangsa unggul dan besar, mengakibatkan perang terbesar dalam sejarah dunia yakni Peeang Dunia ke Dua yang dikobarkan oleh Adof Hitler.
Revolusi Politik di Perancis dan Deklarasi Kemerdekaan di Amerika Serikat adalah tonggak sejarah dari ungkapan sakral, “Merdeka!”
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Juga terinspirasi oleh Revolusi Politik du Perancus dan Kemerdekaan di Amerika Serikar. Namun juga respon atas imperialisme dan kolonialisme Belanda dan Jepang.
Dari sedikit gambaran tentang kata sakral “Merseka” itu, apakah yang telah dapat kita rasakan bersama sampai dengan saat ini di tahun 2025 ini?
Apakah anda semua sebagai orang Indonesia sudah Merdeka?!
Sebuah bahasa provokatif dari bangsa yang merasa terjajah oleh kampium kebebasan, sebuah bangsa yang mengawali mendeklarasikan kemerdekaan.
Dia adalah Amerika Serikat.
Demikian Bunyinya:
Amerika tidak sekarat melainkan bangsat!
Bahasa provokasinya sbb:
Gara-gara Amerika Serikat bangsat itu,
Hiroshima dan Nagasaki dihancurkan Bom Atom
Gara-gara Amerika Serikat bangsat itu, ada garis Demarkasi di Korea.
Gara-gara Amerika Serikat bangsat itu, di Indonesia terjadi Pembantaian Masal.
Gara-gara Amerika Serikat bangsat itu, Indonesia Sekarat.
Gara-gara Amerika Serikat Bangsat itu, Timur Tengah porak poranda.
Gara-gara Amerika Serikat bangsat itu, RRT teralinansi dari dunianya dan beradab pada posisi Ultimasif.
Gara-gara Amerika Serikat Bangsat itu, terjadi konfrontasi antara Rusia dan Ukraina.
Gara-gara Amerika Serukat Bangsat itu, Soekarno Jatuh dari kekuasaan dan Indonesia dicekik dan kemudian dijadikan bonekanya
Gara-gara Amerika Serikat Bangsat itu, anak-anak bangsa Indonesia menjadi Kuli di Negaranya sendiri.
Gara-gara Amerika Serikat Bangsat itu, Revolusi Indonesia Mandek dan hal ini sangat ironis.
Belalakkanlah Matamu! Bukalah telingamu Bila mana perlu, tempelkan telingamu di muka bumi. Matamu akan menyaksikan bentuk-bentuk baru Nekolim.
Setiap mata memandang adalah sebuah panorama yang diciptakan oleh Nekolim dan itu mampu menimbulkan syahwat.
Setiap aktivitas produktif yang kita lakukan adalah dalam rangka menyongkong dan memperkuat keberadaan Nekolim.
Setiap huruf, setiap angka yang Kita pelajari adalah huruf dan angka yang diciptakan olehnya dan tanpa Kita sadari telah menjadi cara pandang, cara berpikir, cara bicara dan cara kita bertindak.
Tidak ada kekuatan lagi yang sanggup mengantisipasi gerak Nekolim di dalam sejarah.
Merdeka di Indonesia!…
Pada hari ini bergentayangan hantu-hantu sosial di Indonesia.
Tugas hantu sosial ini adalah menyebarkan informasi yang seolah-olah kemerdekaan di Indonesia itu sudah bisa dinikmati oleh seluruh anak bangsa.
Jargon-jargon fantastis mulai dimuntahkan di ruang sosial, namun ternyata itu hanyalah ilusi sosial yang manipulatif.
Namanya saja Hantu, tentunya bisanya cuma menghembuskan angin Neraka. Dan, Merdeka tidak pernah didapatkan! Yang diperoleh hanyalah janji-janji yang tidak K
Kunjung tiba.
Kemudian Malaikat Politik Berseru: “Hai anak bangsa Indonesia! Hai Rakyat Indonesia yang saya cintai! Terimalah subsidi dari negara ini! Jadilah orang merdeka dari Subsidi ini!
Subsidi adalah bentuk baru dari Imperialisme. Subsidi adalah penghinaan terhadap harkat dan martabat manusia.
Dengan Ekstrim dapat dikatakan bahwa subsidi adalah perampasan kemerdekaan anak bangsa dan penggagalan keberdikarian bangsa.
Meskipun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sudah memasuki tahun yang ke 80, nampaknya ungkapan samral ‘Merdeka’ ini Masih belum menjadi milik anak-anak bangsa Indonesia dan rakyat Indonesia.
Posted: sarinahnews.com
Surabaya, 10 Mei 2025
Penulis, Djoko Sukmono Badan Pendidikan dan Pelatihan Gerakan Pemuda Nasionalis Marhaenis (NASMAR)