Represifitas Aparat di Kota Malang: Ketika Negara Menjadi Mesin Kekerasan Terhadap Rakyatnya

Represifitas Aparat di Kota Malang: Ketika Negara Menjadi Mesin Kekerasan Terhadap Rakyatnya

Opini:
Represifitas Aparat di Kota Malang: Ketika Negara Menjadi Mesin Kekerasan Terhadap Rakyatnya
Oleh: Muhammad Faiq Fedayeen

Demonstrasi di Kota Malang yang berlangsung pada minggu, 23 maret 2025 menjadi bukti nyata bahwa negara tidak lagi berfungsi sebagai pelindung rakyat, melainkan berubah menjadi mesin kekerasan yang menindas setiap bentuk perlawanan.

Massa yang turun ke jalan membawa tuntutan yang jelas: mencabut Undang-Undang TNI yang dianggap sebagai ancaman terhadap kehidupan sipil dan membuka celah bagi kembalinya militerisme dalam pemerintahan.

Namun, bukannya diberikan ruang untuk menyampaikan aspirasi, mereka justru dihantam dengan kekerasan brutal oleh aparat keamanan.

Aparat yang seharusnya menjaga ketertiban justru melancarkan tindakan represif tanpa ampun. Demonstran tidak hanya dibubarkan, tetapi dipukuli, diseret, dan ditendang secara brutal.

Mereka yang jatuh ke tanah tidak dibiarkan bangkit, melainkan terus dihajar hingga tak berdaya.

Ketika kekerasan menjadi alat utama negara untuk membungkam suara rakyat, maka ini bukan lagi demokrasi, melainkan tirani yang nyata.

Lebih parahnya lagi, aparat dengan sengaja menghancurkan ponsel demonstran yang merekam kejadian tersebut.

Ini bukan sekadar pembubaran aksi, tetapi upaya sistematis untuk menghilangkan barang bukti kejahatan yang mereka lakukan.

Mereka tahu bahwa rekaman video dan foto adalah ancaman bagi mereka, maka satu-satunya cara untuk menutupi pelanggaran ini adalah dengan menghancurkan bukti fisik yang dimiliki oleh para demonstran.

Brutalitas Tidak Berhenti pada Demonstran: Tim Medis pun Jadi Sasaran Kekerasan

Tidak cukup dengan menyerang para demonstran, aparat juga melakukan tindakan biadab terhadap tim medis dari unsur mahasiswa yang seharusnya berada dalam posisi netral dan tidak boleh diintervensi.

Alat medis mereka disita, akses bantuan mereka dihalangi, bahkan salah satu tenaga medis dari unsur mahasiswa tersebut hampir ditampar oleh aparat.

Ini adalah bentuk kebrutalan yang tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga bertentangan dengan prinsip kemanusiaan universal.

Bahkan dalam perang sekalipun, tim medis diperlakukan sebagai zona netral yang tidak boleh diserang.

Lebih jauh, dalam Konvensi Jenewa yang mengatur hukum perang, tenaga medis diakui sebagai pihak yang harus dilindungi dan tidak boleh diintervensi dalam kondisi apa pun.

Bahkan di medan perang, pasukan militer diwajibkan untuk menghormati keberadaan tenaga medis dan membiarkan mereka menjalankan tugas kemanusiaannya.

Namun, apa yang terjadi di Kota Malang justru menunjukkan bahwa aparat dengan sadar melanggar prinsip-prinsip ini, seolah mereka sedang berperang melawan rakyatnya sendiri.

Puncaknya, salah satu tenaga medis dari unsur mahasiswa tersebut mendapatkan cacian kasar dan disebut “l*nte” oleh aparat.

Ini bukan hanya serangan fisik, tetapi juga serangan terhadap martabat manusia.

Ketika mereka yang bertugas menyelamatkan nyawa justru dihina dan diserang, maka ini adalah bukti bahwa aparat tidak lagi bekerja atas dasar hukum dan moral, melainkan atas dasar kekuasaan yang sewenang-wenang.

Negara yang Takut pada Rakyatnya Sendiri

Tindakan represif ini menunjukkan satu hal yang jelas: negara takut terhadap rakyatnya sendiri. Mereka sadar bahwa semakin banyak rakyat yang sadar akan ketidakadilan, semakin besar perlawanan yang akan muncul.

Kekerasan yang mereka lakukan bukanlah tanda kekuatan, tetapi tanda ketakutan mereka terhadap gerakan rakyat yang semakin besar dan sulit dikendalikan.

Ketika negara lebih memilih untuk menghancurkan ponsel daripada mengakui kesalahannya, ketika tenaga medis yang menyelamatkan nyawa justru diperlakukan seperti musuh, maka sudah jelas bahwa kita sedang hidup di bawah kekuasaan yang semakin otoriter.

Ini bukan lagi soal keamanan atau ketertiban, ini adalah soal bagaimana negara mempertahankan status quo dengan segala cara, termasuk dengan menindas dan membungkam suara rakyat.

Lebih dari itu, kendaraan milik demonstran pun disita dan dibawa ke Polresta Malang Kota, semakin menghambat pergerakan mereka.

Tidak hanya fisik yang dihancurkan, tetapi juga akses, logistik, dan mobilitas mereka dibatasi.

Ini adalah bentuk perampasan yang dilakukan dengan dalih penegakan hukum, padahal sejatinya adalah bentuk lain dari penindasan.

Namun, mereka lupa satu hal:

Semakin keras mereka menekan, semakin kuat perlawanan akan tumbuh.

Mereka bisa menghancurkan ponsel, tetapi mereka tidak bisa menghancurkan ingatan rakyat.

Mereka bisa menindas hari ini, tetapi sejarah telah membuktikan bahwa tirani tidak akan bertahan selamanya.

Negara yang dibangun di atas darah dan air mata rakyatnya sendiri tidak akan bertahan lama.

Perjuangan ini belum berakhir, dan rakyat tidak akan diam. Jika mereka berpikir bahwa dengan kekerasan mereka bisa membungkam suara rakyat, maka mereka telah salah besar.

Kita belum kalah! Kita masih berjuang! Dan kita tidak akan menyerah!!!

 

Posted: sarinahnews.com
Malang, 23 Maret 2025

Opini, Oleh: Muhammad Faiq Fedayeen selaku Menteri Koordinator bidang Pengembangan Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya 2025

Sumber: https://docs.google.com/document/d/10bFjeGQi3Y9ufvBM_PV8SxMVMeloMHstfGTv4odYx-o/edit?usp=sharing