Gagoek Inaker: Ketika Era Kepemimpinan Esuk Dele Sore Tempe Hanya Retorika Politik Saja

Gagoek Inaker: Ketika Era Kepemimpinan Esuk Dele Sore Tempe Hanya Retorika Politik Saja

Opini:

Ketika Era Kepemimpinan Esuk Dele Sore Tempe Hanya Retorika Politik Saja
Oleh: KRMH. Gagoek Kapoet Triana, SH.

 

Dalam Era semua boleh, berpolitik zonder dimensi etik moral keadaban.

Dikepemimpinan esuk tempe sore dele dan berceraiberainya akal nalar pikir ilmu dan derajad keimanan.

Keluhan demi keluhan seperti ini mencerminkan kekecewaan yang semakin meluas di masyarakat.

Banyak yang merasa bahwa penyelesaian masalah-masalah besar di negeri ini sering kali tidak tuntas, bahkan terkesan disapu ke bawah karpet, seolah-olah lenyap dari perhatian publik begitu saja.

1. Masalah yang Tak Pernah Selesai:
Konflik lahan seperti di Rempang, PIK 2, atau sengketa tanah lainnya seolah menjadi pola yang berulang.

Masyarakat terdampak sering tidak mendapat keadilan, sementara elite dan korporasi besar terkesan diuntungkan. Janji untuk, “membela rakyat” terdengar hampa ketika rakyat kecil justru harus menanggung beban terbesar.

Penyelesaian yang parsial dan minim pengawasan hanya memperparah ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.

Misalnya, janji relokasi yang tidak kunjung jelas, kompensasi yang tidak memadai, hingga hilangnya identitas budaya masyarakat adat.

2. Fokus yang Terpecah:
Pemerintah belakangan lebih banyak menyoroti program-program seperti makan gratis, perbaikan gizi nasional, atau pembangunan infrastruktur masif.

Meskipun ini penting, pertanyaan besar muncul: Untuk siapa prioritas ini sebenarnya? Apakah fokus pada pembangunan fisik sudah benar-benar menjawab kebutuhan rakyat kecil yang masih terpinggirkan?

Retorika membela rakyat sering kali terasa tidak nyata ketika masyarakat melihat bahwa ketimpangan semakin melebar.

“Rakyat” yang dibela sering kali hanya retorika politik, tanpa tindakan nyata bagi mereka yang paling rentan.

3. Masa Depan Negara:
Jika pola ini terus berlangsung, akan sulit bagi negara untuk benar-benar maju.

Ketimpangan yang terus dibiarkan hanya akan memicu konflik sosial yang lebih besar di masa depan.

Tanpa penyelesaian yang adil dan menyeluruh, masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada pemerintah, yang dapat memengaruhi stabilitas politik dan ekonomi secara keseluruhan.

Apa yang Harus Dilakukan?

Penegakan Keadilan yang Nyata: Pemerintah harus membuktikan bahwa hukum berlaku bagi semua, tanpa memandang siapa yang terlibat.

Penyelesaian konflik lahan, misalnya, harus melibatkan pendekatan berbasis hak asasi manusia dan konsultasi masyarakat.

Transparansi dalam Program:
Setiap program harus jelas siapa yang menjadi sasaran dan bagaimana implementasinya.

Jangan sampai program-program yang diklaim membela rakyat justru menguntungkan segelintir pihak.

Penguatan Media dan Pengawasan Publik: Media yang bebas dan kritis perlu terus didorong untuk mengungkap permasalahan yang sering kali tenggelam dalam kesenyapan.

Partisipasi masyarakat juga perlu diperkuat untuk mengawasi setiap kebijakan.

Rakyat yang Dibela, Rakyat yang Mana?_
Ini adalah pertanyaan reflektif yang harus dijawab oleh para pemimpin bangsa.

Jika yang dimaksud Rakyat adalah mayoritas yang menderita karena ketidakadilan, maka seharusnya kebijakan dan tindakan nyata mencerminkan pembelaan terhadap mereka.

Sebaliknya, jika hanya sebatas slogan, maka Rakyat yang merasakan penderitaan akan terus bertanya: “Apa gunanya pembangunan jika kami tetap ditinggalkan?” ***)

 

Catatan:
Dahulu setelah 1967 pelaksana bandar besar hanya presiden semata hal demikian berlanjut dialektika dinamika politiknya dan berkepentingannya sama maka hal tersebut jamak dilakukan karena setelah paska 1998 penguasa Indonesia menjadi 29 orang yaitu 9 ketum parpol, 9 hakim MK , 9 naga / 9 samurai dan seorang presiden saja (ichsanorddin noorsy)

 

Reposted: sarinahnews.com
Malang, January 16, 2025

Penulis adalah KRMH.Gagoek Kapoet Triana, SH. (Spiritual Engineering – Ketua Dewan Pendiri Indonesia Bekerja/INAKER)