SURABAYA, SARINAH NEWS, – Hegemoni yang dipelihara oleh rezim telah hancur berantakan, karena telah menjadi sampah sejarah.
Hegemoni yang deterministik, yang selama ini hanyalah teks-teks manipulatif, telah terbongkar secara radikal oleh ungkapan-ungkapan yang tertulis di dalam teks-teks itu sendiri.
Sementara itu, teks-teks yang selama ini menjadi alat penindas—yang dianggap mewakili kebenaran dan kebaikan, yang telah dirajut begitu apik untuk membungkus kebohongan, untuk menjadikan anak-anak manusia sebagai budak kebenaran, sebagai kacung kebaikan—ternyata hanyalah sebuah kalimat yang berbunyi:
Tidak mungkin ada yang objektif, tidak mungkin ada fakta; Yang ada hanyalah fenomena yang tidak pernah ditemukan jawabannya.
Akibatnya, anak-anak manusia ini hidup dengan memandang segala sesuatu yang absurd, dan inilah dunia saat ini, di mana yang tersajikan hanyalah FAKTA ALTERNATIF.
Ketika tersajikan pula sesuatu yang disebut realitas, ternyata itu hanyalah efek dari diskursus belaka.
Tidak ada lagi sandaran-sandaran yang dapat digunakan sebagai basis fundamental, karena telah dihempaskan oleh badai sejarah.
Keberadaan esensial dan substansial yang selama ini dianggap definitif, yang dianggap mewakili kebenaran dan kebaikan, kini telah kehilangan daya analitik dan legitimasi materialnya.
Ia hanyalah MITOS PEMARAH, ia hanyalah CIPTAAN UTOPIS KEPARAT.
Apa yang objektif menjadi tidak mungkin. Objektivitas adalah sesuatu yang terus menerus digali dan dicari seiring berjalannya kehidupan.
Teori-teori terus tumbuh dan berkembang dalam upaya menjelaskan apa yang objektif.
Ada kalanya sesuatu yang dianggap objektif dijadikan pancang kebenaran, dijadikan alat untuk mengoreksi pandangan dan pemikiran yang mengklaim telah menemukan objektivitas, sehingga dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sosial.
Namun, ketika yang objektif ini terus menerus menjadi bahan perdebatan, maka objektivitas itu menjadi sesuatu yang tidak mungkin.
Apakah yang objektif itu peristiwa, situasi, keberadaan empiris, esensial, eksistensial, atau sesuatu yang tercipta?
Atau lebih dari itu, misalnya pra-penciptaan?
Dengan sedikit ekstrem, objektivitas bisa jadi adalah yang mencipta itu sendiri.
Yang objektif bisa jadi adalah substansi, bisa jadi kontingensi, atau lebih tepat jika dikatakan bahwa yang objektif adalah setiap kategori yang kategoris.
Yang objektif itu adalah ide; yang objektif itu adalah fenomena; yang objektif itu adalah realitas yang relatif. Atau, dengan sedikit ekstrem, yang objektif itu adalah sesuatu yang dianggap realistis.
Yang objektif itu adalah manusia konkret ini. Yang objektif adalah manusia konkret ini yang telah dijejali dengan sifat-sifat kemanusiaan yang deterministik.
Jika ia berbentuk inisial, ia bernama lengkap, misalnya JOKO SUKMONO, alamat RT…, Desa…, Kabupaten…, Provinsi…, Indonesia.
Hancurnya hegemoni, runtuhnya determinasi, dan tumbangnya tirani adalah pintu kebebasan bagi anak-anak manusia untuk tumbuh dan berkembang menjadi komunitas yang membahagiakan.
Setiap individu manusia konkret dapat menjadi dirinya sendiri tanpa campur tangan pihak-pihak yang selama ini memperlakukannya sebagai alat kekuasaan.
Selamat datang, kemerdekaan yang sesungguhnya—yang sungguh-sungguh ada. ***)
editor: redaksi Posted: sarinahnews.com Surabaya, 22 Januari 2025
Penulis, pengamata sosial politik, Alumnis GMNI Jember