SURABAYA, SARINAH NEWS, – Ada yang terlewatkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, yaitu esensi politik, negara, dan masyarakat. Selain itu, ada juga yang terabaikan, yakni eksistensi politik, negara, dan masyarakat.
Esensi politik adalah kekuasaan yang melembaga.
Esensi negara adalah wahana yang melembaga bagi kehidupan ideologi dan politik.
Esensi masyarakat adalah wahana bagi kehidupan sosial manusia.
Eksistensi politik adalah perintah konkret dari kekuasaan atas nama ideologi untuk dimanifestasikan.
Eksistensi negara adalah dasar kesungguhan dari keberadaannya.
Eksistensi masyarakat adalah dasar kesungguhan dari proses sosial yang konkret.
Kelegaan terwujud ketika substansi esensial dan substansi eksistensial dari politik, negara, dan masyarakat itu diketahui keberadaannya dalam rangka proses dan menjadi dambaan bersama.
Apakah yang menjadi dambaan dengan adanya politik, negara, dan masyarakat itu, khususnya di negara bangsa Indonesia?
Dalam hal ini, yang memiliki dambaan adalah bangsa Indonesia itu sendiri, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan landasan ideal Pancasila dan landasan struktural UUD 1945.
Kemudian, kemauan dari eksistensi politik yang merupakan motor penggerak kehidupan berbangsa dan bernegara serta kehidupan sosial di masyarakat menyebabkan terjadinya seluruh problematika sosial di segala aspek kehidupan sosial manusia Indonesia.
Problematika sosial yang terjadi di tingkat masyarakat Indonesia adalah mengenai tumbuh dan berkembangnya struktur-struktur sosial di luar negara yang secara bertahap tumbuh menjadi rezim dan berkembang menjadi negara di dalam negara.
Pada situasi tertentu, rezim di luar negara ini terus berkembang menjadi semacam hantu di masyarakat yang lebih berbahaya daripada rejim politik (negara bangsa Indonesia) yang represif sekalipun.
Contohnya, tindakan sewenang-wenang rejim sosial, kebudayaan, maupun keagamaan dengan dominasinya sebagai mayoritas bertindak sebagai algojo kehidupan sosial tanpa adanya pencegahan dari rejim politik terhadapnya.
Agen-agen doktrin rejim sosial, kebudayaan, maupun keagamaan ini telah bercokol di mana-mana dan berbicara serta bertindak seenaknya, bahkan klaim terhadap mereka adalah sebagai penjaga kebenaran dan kebaikan.
Inilah diktator mayoritas yang ada di negara bangsa Indonesia ini yang sangat merugikan elemen masyarakat maupun komponen bangsa Indonesia.
Kapan politik negara mencegah tingkah laku diktator mayoritas ini?
Tentang kapan upaya dari politik negara sebagai otoritas tertinggi di masyarakat negara bangsa ini untuk mencegah kediktatoran rezim sosial, kebudayaan, maupun keagamaan sangat ditentukan oleh ketidaktergantungannya rezim politik ini kepada ketiga rezim yang ada di masyarakat tersebut?
Pada posisi lain, anak-anak bangsa yang sekaligus juga anak-anak manusia ini mengalami berbagai hambatan dalam mendunia, dalam artian ada hambatan dalam melakukan aktivitas sosial dalam bentuk relasi yang interaktif di segala aspek kehidupan sosialnya.
Sementara rezim politik yang sedang berkuasa hanya melakukan tindakan regulasi yang bersifat memeras anak-anak bangsa ini, utamanya pengenaan pajak yang bersifat otoriter tanpa mempedulikan kehidupan sosial ekonominya dan dari mana uang untuk membayar pajak tersebut didapatkan.
Sikap rezim politik ini menunjukkan sikap imperialistik yang tidak pernah bisa dimengerti, karena pelakunya adalah sesama anak bangsa sendiri yang memilih dan terpilih untuk menjadi penindas bangsanya sendiri.
Betapa ironisnya kondisi psikologis anak-anak bangsa yang sekaligus anak-anak manusia yang tinggal di negara kesatuan Republik Indonesia ini.
Dari sisi politik, terjajah oleh rezim politik, sedangkan dari sisi sosial dijajah oleh rezim sosial, kebudayaan, maupun keagamaan, dan saat ini ada rezim yang baru lahir yang siap menjajah anak-anak bangsa yaitu rezim keuangan.
Bagaimana mungkin ada sebuah ruang umum yang tersedia bagi anak-anak bangsa untuk menjalankan keakraban sesama warga negara jika hegemoni yang deterministik diberlakukan oleh rezim, baik rezim politik, sosial, kebudayaan, keagamaan, maupun keuangan di hamparan ruang sosial yang luas ini?
Berikut adalah sebuah gambaran tentang keberadaan manusia konkret:
Ketika kita berbicara tentang historisitas manusia, kita merujuk pada kesadaran kita akan sejarah dan perkembangan manusia sebagai spesies.
Sebagai manusia, kita memiliki kemampuan unik untuk memahami dan menghargai sejarah kita sendiri, serta bagaimana sejarah tersebut membentuk identitas dan keberadaan kita saat ini.
Sebagai suku bangsa manusia, kita menyadari bahwa kita adalah bagian dari kelompok manusia yang lebih besar.
Kita memiliki kesamaan dengan manusia lainnya dalam hal asal-usul, sifat manusiawi, dan kebutuhan dasar.
Kesadaran ini dapat memperkuat rasa persaudaraan dan solidaritas antara kita sebagai manusia.
Selanjutnya, sebagai warga negara Indonesia, kita mengakui dan setuju dengan keberadaan Republik Indonesia sebagai negara kita.
Ini berarti kita mengakui otoritas dan aturan yang ditetapkan oleh negara, serta berkomitmen untuk menjalankan kewajiban dan tanggung jawab kita sebagai warga negara yang baik.
Sebagai warga negara Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam pembangunan negara, menjaga persatuan dan kesatuan, serta memajukan kesejahteraan bersama.
Ini dapat dilakukan melalui partisipasi dalam proses demokrasi, menghormati hak asasi manusia, mematuhi hukum, dan berkontribusi dalam bidang-bidang seperti pendidikan, ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Kesadaran akan identitas dan peran kita sebagai warga negara adalah penting karena hal ini membantu kita memahami nilai-nilai yang mendasari negara kita, serta memberikan arah dan tujuan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dengan memahami historisitas kita sebagai manusia dan identitas kita sebagai warga negara Indonesia, kita dapat menjadi agen perubahan yang positif dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara kita.
Dalam pemahaman umum, masa depan sering kali dikaitkan dengan harapan dan tujuan yang ingin dicapai oleh individu atau masyarakat.
Namun, pandangan tentang masa depan dapat berbeda-beda tergantung pada perspektif dan nilai-nilai yang dianut oleh individu atau kelompok.
Bahwa masa depan tidak lagi berpedoman pada keadilan sosial, melainkan lebih berpijak pada proses sejarah, menunjukkan adanya pergeseran dalam nilai-nilai yang menjadi landasan bagi perkembangan masyarakat.
Keadilan sosial adalah prinsip yang menekankan pentingnya distribusi kekayaan dan kesempatan yang adil bagi seluruh anggota masyarakat.
Namun, masa depan tidak lagi memprioritaskan keadilan sosial, melainkan lebih fokus pada proses sejarah.
Pendapat bahwa ini membutuhkan renungan yang radikal dan mendalam menunjukkan bahwa perubahan ini dianggap signifikan dan memerlukan pemikiran yang lebih dalam untuk memahaminya.
Renungan yang radikal dan mendalam dapat melibatkan refleksi kritis terhadap nilai-nilai yang ada, analisis terhadap perubahan sosial dan politik, serta pemahaman yang lebih luas tentang sejarah dan konteks sosial.
Historisitas manusia tidak lagi ditentukan oleh dogma menunjukkan adanya pergeseran dalam cara manusia memahami dan menginterpretasikan sejarah.
Dogma merujuk pada keyakinan atau doktrin yang dianggap mutlak dan tidak dapat dipertanyakan.
Ketika historisitas manusia tidak lagi terikat oleh dogma, hal ini berarti bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memahami dan menginterpretasikan sejarah sesuai dengan konteks dan perspektif yang berbeda.
Namun, penting untuk diingat bahwa pandangan tentang masa depan dan historisitas manusia dapat bervariasi tergantung pada perspektif dan pemahaman individu.
Diskusi dan refleksi yang lebih mendalam dapat membantu kita memahami perubahan-perubahan ini dengan lebih baik dan mengembangkan pemikiran yang lebih kritis dan inklusif.
Teruslah menjalani hidup sesuai dengan kapasitas yang ada pada diri kita masing-masing, sesuai dengan talenta yang menjadi milik kita masing-masing.
Berikan waktu yang cukup untuk diri kita masing-masing, jaga hidup kita masing-masing, dan kemudian jika suatu saat nanti menemukan seorang sahabat sejati, maka itu adalah keberuntungan dalam hidup.
Lihatlah jendela kehidupan itu, di situ terdapat hamparan luas, terdapat keanekaragaman kehidupan, lalu bisikkanlah kepada sahabat sejatimu itu dengan lembut: sahabatku, dalam kebersamaan ini aku selalu menghimbau kepadamu supaya kita menjadi bersatu.
Saya sebagai individu manusia yang tinggal di muka bumi ini meniscayakan diri saya sendiri sebagai eksistensi yang autentik.
Sebagai eksistensi yang beresensi, sebagai eksistensi yang menciptakan kebebasan saya sendiri, sebagai eksistensi yang menciptakan cita-cita saya sendiri, dan kesadaran sosio-historis dan sosio-kultural saya sebagai individu manusia meniscayakan eksistensi saya untuk berinteraksi dengan individu lain dalam konteks yang lebih luas, bisa berupa interaksi edukatif, interaksi politis, maupun berbagai macam jenis interaksi yang lain.
Tentang apa yang didapatkan dalam berinteraksi itu, hal tersebut tidaklah menjadi tujuan. Yang terpenting adalah menjalani proses kehidupan sosial seumur hidup.
Sesuatu yang ilusif, fantastik, halusinasif, dan tahayul tidak pernah ada dalam diri saya. Saya hanya berinteraksi dengan orang lain dalam rangka ada dan menjadi dengan dilandasi oleh hal yang logis dan realistis.
Ketersediaan sosial memang benar-benar ada dan telah menjadi kenyataan.
Oleh karena itu, pilihan-pilihan yang sudah tersedia dapat digunakan atau tidak digunakan karena ketersediaan sosial ini bersifat kontingensi, artinya keberadaannya dan kejadiannya bergantung pada yang lain.
Inilah yang dinamakan hak setiap individu manusia konkret.
Misalnya, berbagai agama telah tersedia di dunia. Ketersediaan ini boleh diikuti atau tidak, sehingga agama adalah hak, bukan kewajiban.
Contoh lain adalah berbagai isme di dunia. Mereka ada dan bisa menjadi pilihan, tetapi tidak harus menjadi pilihan. Tentu masih banyak contoh-contoh lainnya.
Sampai saat ini, kebebasan manusia tidak lagi dapat diterjemahkan ke dalam teks, baik dalam bentuk pasal-pasal maupun ayat-ayat, dengan alasan apa pun atau atas nama siapa pun. Manusia adalah kebebasan; ciptakanlah dirimu dengan bebas.
Politik negara di Indonesia belum berbuat apa-apa terhadap anak-anak bangsa yang juga adalah anak-anak manusia.
Yang mereka lakukan hanyalah bermesraan dengan sesama rezim—baik rezim politik, sosial, keagamaan, kebudayaan, maupun keuangan—dalam rangka bagi-bagi kue kekuasaan.
Dengan kondisi yang demikian, tidak mungkin Indonesia menjadi negara maju, apalagi mencapai Indonesia Emas pada tahun 2045.
Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa budaya yang dianut oleh para rezim ini adalah budaya ilusif dan absurd.
Jika ini telah menjadi pola pikir bangsa, maka janganlah berharap lagi pada segala yang ideal dan fundamental.
Hukum rasional perubahan, yang mengarahkan perjalanan bangsa Indonesia untuk berjalan di jalur sejarahnya sendiri, tidak dapat diperkirakan atau dijelaskan apa yang akan terjadi di masa depan.
Jawabannya ada pada hukum rasional sejarah.
Esensi dari eksistensi politik, negara, dan masyarakat bukanlah sebuah keberuntungan yang diserahkan begitu saja kepada rezim, melainkan merupakan tempat bagi kehidupan sosial manusia dalam mengada dan menerima panggilan sejarah demi keberlanjutan hidup dan kehidupan suku bangsa manusia di muka bumi, untuk tugas utamanya membangun peradaban dunia. ***)
Editor: Redaksi
Posted: sarinahnews.com
Surabaya, 25 January 2025
Penulis adalah pengamat sosial politik alumni GMNI Jember