Opini,
Paradigma Politik dan Demarkasi Pemikiran Bung Karno
Oleh Djoko Sukmono
Ketika hari panas terik, matahari bersinar terang benderang, memancarkan cahaya kehidupan. Saya dan teman-teman seperjuangan terinspirasi oleh Nietzsche dengan pemikiran yang jelas, gamblang, dan bebas.
Segala sesuatu yang menghalangi keberadaan manusia yang otentik ditiadakan. Tak peduli itu setan, tak peduli itu malaikat, bahkan Tuhan pun ditiadakan jika nyata-nyata menjadi penghalang dan menjebak keberadaan manusia dalam bereksistensi.
Dengan penuh keberanian, sang filsuf meremukkan apa saja dan siapa saja yang menggagalkan eksistensi manusia.
”Berfilsafat dengan Palu,” inilah pernyataan provokatif dari sang filsuf. Yang ditemukan pertama kali adalah pancang-pancang kebenaran dan kebaikan; kemudian, kepalsuannya dihantamkan kepada orang-orang yang tersihir oleh candu ideologi yang ilusif.
Pernyataan provokatif berikutnya adalah: ”Jadilah besar seperti Superman,” yang hanya memiliki satu moral, yaitu moral tuan. Bunuh dan tiadakan segala sesuatu yang menghalangi kehendakmu untuk berkuasa.
Demikianlah bahasa provokatif dari Nietzsche yang kesohor itu. Ada sebuah ilustrasi yang bisa diambil hikmahnya sebagai berikut:
Ada Lenin, Trotsky, Leo Tolstoy, dan Stalin. Dari keempat tokoh pencetus Revolusi Bolshevik ini, mereka adalah pribadi-pribadi yang kuat dalam memegang prinsip masing-masing.
Keempat tokoh tersebut sepakat bahwa Lenin dijadikan pemimpin (Ketua Polit Biro), Stalin sebagai wakilnya, sedangkan Trotsky bertugas di Presidium bersama Leo Tolstoy.
Kemudian, keputusan politik menempatkan Lenin sebagai pemimpin UUSR (Uni Sovyet Sosialis Republik). Lenin kemudian digantikan oleh Stalin pada tahun 1924 karena Lenin wafat.
Pergerakan Uni Sovyet terus berjalan di bawah pemimpin UUSR yang dianggap ideal sesuai dengan keyakinan Marxisme.
Namun, kekerasan hati Stalin memicu protes internal dari Trotsky dan Leo Tolstoy terhadapnya. Keduanya menganggap Stalin telah menyimpang dari Marxisme dan Leninisme.
Protes ini berakhir dengan pembuangan kedua tokoh pendiri Uni Sovyet tersebut. Namun, keduanya menolak gaya eksekusi Stalin dan berkata kepadanya:
”Hai Stalin… Kecintaanku kepada Uni Sovyet dan keimananku kepada Marxisme saya buktikan dengan sikap saya mematuhi hukum Uni Sovyet dan konvensi Presidium yang telah menjadi integritas kita. Kami tidak tunduk dan patuh kepadamu, hai Kamerad. Kami tunduk kepada hukum tertinggi Uni Sovyet.”
Akhirnya, dengan air mata berlinang, Stalin melepas kedua kamerad tersebut berjalan di salju Siberia hingga mereka membeku, menjadi simbol perlawanan ideologis dan martir negara.
Demikianlah gambaran figur pejuang pemikir dalam dunia politik. Hal serupa juga terjadi di negara-bangsa Indonesia, yakni retaknya hubungan Dwitunggal Soekarno-Hatta, yang diakhiri dengan perpisahan.
Bung Karno kemudian melanjutkannya seorang diri dalam membawa bangsa dan negara Indonesia ke situasi ideologis-politik yang heroik, diawali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Inilah demarkasi politik Bung Karno. ***)
Reposted: sarinahnews.com
Malang, January 20, 2025
Note:
Ditulis oleh Djoko Sukmono, dengan judul, “Paradigma Politik dan Demarkasi Pemikiran Bung Karno” Sumber: marhaenis.com