DJOKO SUKMONO: KEBANGKITAN DAN TRAGEDI

DJOKO SUKMONO: KEBANGKITAN DAN TRAGEDI

Opini:
KEBANGKITAN DAN TRAGEDI
Oleh Djoko Sukmono

Kita sedang berada pada posisi yang sungguh-sungguh kritis. Situasi batas sosial-politik telah memasung para revolusioner.

Manusia konkret berada pada posisi esensinya yang tidak berhenti pada situasi batas.
Itulah keberadaan otentik—di dalam adanya, sungguh-sungguh ada.

Jiwa-jiwa setiap anak manusia yang mati akibat kesalahan dalam memilih bentuk moral yang tidak manusiawi, telah melahirkan moral baru yang bernama moral kawanan. Ia adalah solidaritas—moral ini lebih menyerupai moral budak, yang menyerahkan moralnya kepada moral kawanan.

Namun, dengan tertawa terbahak-bahak, sang Moral Tuan bersabda:
“Dasar budak! Terimalah ini, buku tebalmu, sebagai pedoman hidupmu!”

Dan buku itu bernama Buku Perjuangan, Pengabdian, dan Pengabdian. Semoga bermanfaat bagimu.

Ayo bertindak!
Yang mengubah dunia bukan sekadar omon-omon.
Menerangkan tentang dunia itu sudah selesai.
Mau diberi penjelasan apa lagi tentang dunia ini?
Dunia bekerja dengan hukum sekularistik, bukan dengan hukum mistis.

Manusia adalah pusat dunia.
Kehidupan sosial manusia adalah realitas sosial konkret.

Kebahagiaan sosial konkret telah menjadi endapan-endapan ilusi yang absurd. Keadilan sosial hanyalah jargon.

Itulah waktu…
Berada pada waktu itu adalah ilusi.

Itulah ruang…
Ada di dalam ruang berarti membawa langkah menuju situasi batas.

Itulah tempat…
Di situ terdapat esensi penuh dambaan yang tak kunjung tiba.

Tragedi dan kebangkitan…

Sebuah historiografi yang berdimensi religius mengatakan bahwa kebangkitan Israel ditancapkan oleh bapak segala bangsa bernama Abraham, yang diklaim sebagai manusia imanensional pertama—yang langsung berhadapan dengan Tuhannya.

Kebangkitan manusia dari tidur panjang dan mimpi-mimpi halusinatif dihancurkan oleh kebangkitan spiritualitas berupa pengorbanan terhadap darah dagingnya sendiri demi memenuhi perintah Tuhan.

Bangkit, Zion, bangkit…
Itu adalah pernyataan ideologis-politis tentang kebangkitan yang menimbulkan tragedi terpanjang dalam sejarah kehidupan sosial manusia.

Kemudian dilanjutkan oleh Musa sebagai figur sang pembebas, demi kelanjutan sejarah bangsa Israel.

Dan secara ideologis-politis, kebangkitan bangsa Israel ditandai oleh pancang patriotisme Daud sebagai simbol Israel.

Kematian Goliat di tangan Daud adalah momentum fantastis bagi bangsa Israel dalam mengukir sejarah kekuasaan terbesar dalam sejarah mereka.

Ketika sejarah dunia mencatat perjalanan sebuah bangsa, maka secara ekstrem dapat dikatakan: hanya bangsa Israel yang memenuhi syarat esensial sebagai sebuah bangsa.

Menjadi bangsa besar tidaklah mudah.
Tidak juga serta-merta turun pertolongan dari langit yang tiba-tiba membuat suatu bangsa menjadi besar.

Mengutip pernyataan Bung Karno:
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang telah digembleng keadaan.”

Eksistensi sebuah bangsa adalah kehendak sejarah.
Namun, sejarah juga tidak serta-merta menganugerahkan kebesaran kepada suatu bangsa, melainkan melalui perjalanan eksistensial bangsa tersebut di dalam men-dunia—yakni kebangkitan yang tiada pernah berakhir.

Kadang, kebangkitan itu harus melewati fase mengerikan: bangkit dari puing-puing kehancuran.

Bangkit… Hancur…
Hancur… Bangkit…
Dan… Besar.

Tragedi demi tragedi terjadi akibat sebuah kebangkitan.
Kebangkitan kebijaksanaan ditandai oleh terbunuhnya Sokrates—sebuah tragedi filosofis.

Kebangkitan religiusitas ditandai oleh penyaliban Yesus di kayu salib, dengan postulat:
“Bangkit dari antara orang mati.”
Inilah tragedi spiritual terbesar dalam sejarah religi di bumi.

Rasio historis memandang bahwa tonggak-tonggak kebangkitan selalu diiringi oleh tragedi kemanusiaan.

Kebesaran suatu bangsa selalu runtuh ketika baja sejarah menghantamnya.
Kebesaran suatu bangsa hanya terjadi sekali dalam sejarah.

Romawi besar… lalu runtuh.
Perancis besar… lalu runtuh.

(Di era Napoleon, yang mengobrak-abrik Eropa dengan meniadakan batas-batas negara, hingga muncul pernyataan radikal dari seorang filsuf sosial bahwa Napoleon Bonaparte adalah roh politik yang bergentayangan, membabat habis apa pun dan siapa pun yang menghalangi jalannya revolusi.)

Namun, pelajaran berharga dari sejarah itu tidak menyurutkan kebangkitan.

Tragedi demi tragedi terus berlangsung hingga saat ini.
Keruntuhan demi keruntuhan.
Kejayaan demi kejayaan.
Kemenangan demi kemenangan.

Itulah jalan sejarah bagi seluruh anak-anak manusia.
Bagi seluruh anak-anak bangsa.
Dan hal yang demikian adalah hal yang wajar dalam historisitas manusia—dalam memenuhi panggilan sejarah.

 

Posted: sarinahnews.com
Surabaya, 5 Mei 2025

Writer: Djoko Sukmono Filsuf Sosial, Badan Pendidikan dan Pelatihan NASMAR