Opini:
Catatan Seorang Filsuf Djoko Sukmono: Ruang Sosial dan Sejarah Kekuasaan Berdasarkan Rasio Historis
Oleh Djoko Sukmono
Ruang Sosial adalah wahana yang terhampar luas bagi kehidupan sosial manusia.
Di dalam ruang sosial itu terdapat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), negara, agama, kebudayaan, dan peradaban.
Sejak kapan mereka ada? Sejak munculnya rezim kontrak politik pertama berupa Dekrit dari kekuasaan yang bernama Patriaki.
Sebuah ilustrasi tentang sejarah kekuasaan berdasarkan Rasio Historis.
Pada awalnya adalah Bapak manusia dan Ibu manusia.
Keduanya hidup, bertumbuh, berkembang, dan beranak pinak.
Akibat dari pertumbuhan populasi ini, timbul berbagai dampak psikologis maupun sosiologis yang tak terelakkan.
Secara biologis, anak-anak manusia ini merupakan kelanjutan dari genealogi Bapak manusia dan Ibu manusia yang terus bertumbuh dan berkembang di muka bumi, kemudian dipengaruhi oleh distribusi embriologis, geografis, dan topografis yang terus-menerus membentuk keberadaannya.
Inilah yang dinamakan Evolusi, yaitu saling keterhubungan dan ketergantungan antara bentuk kehidupan yang telah menjadi genealogi yang berserakan di muka bumi.
Ancaman terhadap eksistensi telah berlangsung selama ribuan tahun. Awalnya, eksistensi itu terancam oleh munculnya seorang eksistensialis pertama bernama Bapak manusia.
Bapak manusia menjalani kehidupannya bersama Ibu manusia dengan rentang hidup yang terprediksi ratusan tahun (masalah umur Bapak manusia dan Ibu manusia ini tidak bisa dibandingkan dengan umur anak-anak manusia saat ini).
Bapak manusia dan Ibu manusia beranak pinak setiap tahunnya, dan keturunannya terus melanjutkan kehidupan selama ratusan tahun.
Namun, ketika anak-anak manusia bertambah banyak, terjadi peristiwa fenomenal: ditetapkannya Bapak manusia sebagai Raja.
Inilah kontrak sosial politik pertama yang terjadi dalam kehidupan sosial manusia.
Rezim Patriarki, dalam sejarah kekuasaan, membuat dan memberlakukan segala regulasi secara otoriter kepada objek kekuasaan, yaitu anak-anak manusia yang tinggal di muka bumi.
Kehidupan sosial ada dan terbentuk karena regulasi yang diberlakukan oleh rezim patriarki terhadap anak-anak manusia.
Seiring waktu, kontrak sosial ini menampakkan fungsinya secara sederhana, yaitu distribusi keadilan yang proporsional berdasarkan hierarki keturunan.
Anak pertama menduduki peringkat kedua dalam kekuasaan, begitu seterusnya bertingkat dan berjenjang.
Pada masa itu, kehidupan sosial berjalan lancar dan normal, seperti yang didambakan anak-anak manusia saat ini: terjaminnya kesejahteraan, terselenggaranya keadilan, dan kedamaian yang menjadi milik anak-anak manusia secara esensial (mendapatkan kelegaan).
Bumi ini telah menjadi ajang persengketaan sejak terjadinya penguasaan terhadap kawasan-kawasan subur.
Kawasan-kawasan tersebut dikuasai oleh kelompok-kelompok yang terus tumbuh dan berkembang secara alamiah.
Pada awalnya, Bapak manusia dan Ibu manusia adalah orang tua dari seluruh manusia yang adil dan bijaksana.
Tidak ada anak-anak manusia yang kelaparan, pemarah, pembenci, pendendam, penakut, cemas, gelisah, atau ragu-ragu.
Tidak ada anak-anak manusia yang dihukum, sakit, atau mengalami penyakit.
Pencuri belum ada, pelacur belum ada, narkoba belum ada, virus pun belum ada, baik virus fisik maupun virus mental.
Mereka benar-benar selaras dengan alam. Inilah kehidupan anak-anak manusia di muka bumi yang oleh pemikir naturalis disebut sebagai Naturalisme.
Seiring waktu, peristiwa-peristiwa baru terjadi.
Beberapa orang menemukan lahan subur baru dan menggarapnya tanpa memberitahu kelompok induknya.
Ketika panen tiba, kelompok induk ingin ikut serta, tetapi mereka yang telah bekerja keras menolak campur tangan kelompok induk dengan alasan logis:
“Bagaimana mungkin kalian tidak ikut menanam dan menjaga tanaman ini, tetapi tiba-tiba ingin ikut memanen?”
Inilah awal mula konflik. Namun, karena mereka masih bagian dari keluarga besar, konflik ini dapat diselesaikan dengan baik dalam bentuk “Upah”.
Inilah kontrak sosial pertama antara manusia dengan manusia.
Demikianlah kontrak politik dan kontrak sosial pertama terjadi dalam kehidupan sosial manusia.
Suatu hari, terjadi peristiwa fundamental dan fenomenal: Keputusan sakral pertama yang ditetapkan oleh rezim politik yang berkuasa, yaitu pembolehan poligami bagi orang-orang yang menduduki jabatan Pentimg dalam kekuasaan.
Urutan pertama diberikan kepada Bapak manusia untuk memilih selir-selir yang diinginkannya.
Setelah itu, urutan kedua diberikan kepada anak tertua, dan seterusnya.
Inilah awal dari Rezim Patriarki pertama.
Dalam hal ini, terjadi benturan kepentingan yang memicu konflik psikologis dan mampu menciptakan situasi yang meruncing.
Kelompok-kelompok kecil yang menentang dekrit rezim politik mulai terbentuk, dan secara bertahap, mereka berkembang menjadi kelompok besar yang mampu menyeimbangi kekuasaan rezim politik.
Dalam situasi tersebut, muncullah kebebasan yang dijalankan secara sembunyi-sembunyi.
Terjadi hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan yang ditetapkan secara baku, meskipun tidak tertulis (pada masa itu, terprediksi bahwa tulisan belum ada; bahasa yang digunakan masih berupa Sabda atau bahasa lisan).
Sementara itu, orang-orang yang terbuang—dengan sedikit perempuan dan jumlah laki-laki yang lebih besar—mencari tempat yang layak dihuni, jauh dari jangkauan rezim politik yang berkuasa.
Para pelarian ini melanjutkan kehidupan dengan model yang diadopsi dari kelompok besar mereka, tetapi tanpa ketetapan Dekrit yang diberlakukan.
Sementara itu, Rezim Patriarki terus melanjutkan kehidupan sosialnya yang semakin kompleks karena kebebasan terselubung yang diam-diam diterima.
Ternyata, kebebasan ini memberikan kenikmatan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, sehingga menimbulkan ketagihan yang terus-menerus hingga akhirnya menggumpal.
Inilah yang dinamakan Candu Kehidupan pertama yang dialami oleh anak-anak manusia.
Apapun yang terjadi di Ruang sosial itu bentuknya adalah sebuah Mekanisme Besar yang bergerak di dalam sejarah yang bermanifestasi menjadi kehidupan sosial manusia yang multi kompleks. ***)
Reposted: sarinahnews.com
Surabaya, 1 February 2025
Penulis, Djoko Sukmono Filsuf Sosial Indonesia