Opini
BERSIH-BERSIH TNI: JOKOWI MASIH JADI KOMANDAN?
Oleh Sugotosulistyono
Pencopotan Letjen TNI Kunto Arief Wibowo dari jabatan Pangkogabwilhan I bukan peristiwa biasa. Dalam politik, tak ada yang kebetulan. Apalagi ketika menyangkut posisi strategis dalam struktur pertahanan negara.
Kunto bukan sekadar jenderal. Ia adalah figur simbolik. Darah militer mengalir deras dalam tubuhnya—anak dari mantan Panglima ABRI sekaligus Wapres Try Sutrisno.
Ketika ia ditempatkan di posisi yang selama ini “tradisionalnya” dipegang angkatan laut, itu sudah sinyal politik. Ketika ia dicopot hanya dalam hitungan bulan—itu sinyal yang lebih keras lagi.
Mutasi, atau Eliminasi Politik?
Alasan mutasi dalam militer kerap dikemas rapi: penyegaran, kebutuhan organisasi, atau rotasi rutin. Namun dalam konteks Indonesia hari ini, publik mulai sadar: rotasi bisa berarti penyingkiran, bahkan pemangkasan jalur potensi oposisi dari dalam.
Dan lihat siapa penggantinya: Laksda Hersan, mantan ajudan Jokowi. Apakah ini kebetulan? Tentu tidak. Ini penempatan kunci. Loyalitas di atas kompetensi. Kesetiaan pada penguasa di atas pertimbangan profesional.
Langkah ini tak bisa dibaca secara parsial. Ia datang di tengah gelombang keresahan para purnawirawan yang menggugat legitimasi Gibran sebagai Wapres terpilih. Mereka tidak menolak hasil Pilpres saja.
Mereka mengungkap keberatan moral dan konstitusional. Dan kekuatan moral ini—jika tidak dibendung—dapat berkembang menjadi tekanan politik yang lebih luas.
TNI Diatur Ulang?
Dalam sejarah Indonesia, militer selalu menjadi variabel penting dalam kalkulasi kekuasaan.
Jokowi, yang sadar tidak punya akar kuat di militer, sejak awal masa jabatannya membangun relasi dan struktur loyalitas lewat jalur personal.
Ajudan, staf khusus, promosi jenderal tertentu—semua dirancang untuk menciptakan struktur dalam struktur.
Pembersihan figur-figur yang tidak jelas loyalitasnya adalah bagian dari strategi menjaga stabilitas kekuasaan pasca-kepresidenan.
Jokowi belum selesai. Ia mungkin sudah lengser, tapi jaring pengaruhnya masih aktif. Dan Gibran adalah perpanjangan tangannya.
Apa Kabar Prabowo?
Pertanyaan terbesar kini bukan hanya soal Kunto. Tapi: di mana posisi Prabowo? Apakah ia masih punya otoritas atas gerbong TNI? Ataukah ia sudah dikepung oleh sistem yang tidak sepenuhnya ia kuasai?
Kalau Prabowo diam, maka dugaan bahwa ia hanya perisai formal bagi kekuasaan lama akan menguat. Tapi jika ia berani melawan arus, maka sejarah akan mencatat: Prabowo akhirnya mengambil kendali.
Tapi waktu tidak berpihak selamanya. Pembersihan demi pembersihan akan terus terjadi. Dan jika Prabowo tidak bertindak sekarang, maka ketika giliran datang padanya, tidak akan ada struktur yang tersisa untuk menyelamatkannya.
Menuju Otoritarianisme Baru?
Bagi publik, pencopotan Letjen Kunto bukan hanya drama internal militer. Ini indikator bahwa demokrasi kita sedang dikooptasi oleh kekuasaan yang tak rela berakhir.
Kalau proses seperti ini dibiarkan, maka bukan hanya TNI yang dibungkam. Tapi seluruh elemen negara akan dipaksa tunduk pada satu proyek: melindungi Gibran, dan mempertahankan warisan kekuasaan Jokowi.
Dan jika itu terjadi, maka kita tak lagi hidup dalam negara demokratis. Tapi dalam teater besar oligarki, di mana militer pun hanya jadi alat untuk membungkam perbedaan.
Posted: sarinahnews.com
Jakarta, 2 Mei 2025
Penulis, Sugotosulistyono, pengamat politik dan militer