Opini:
D E M O R A L I S A S I
Oleh Djoko Sukmono

Agar manusia menjadi individu konkret dan manusia sosial konkret, dibutuhkan transformasi nilai-nilai fundamental ke dalam jiwa setiap anak manusia yang tinggal di muka bumi. Nilai-nilai fundamental ini disebut Moral.

Namun, dalam proses pembentukannya, moralitas sering mengalami situasi batas realitas yang disebut DEMORALISASI.

Hal ini disebabkan oleh adanya paradoks dalam jiwa setiap manusia membangun relasi dengan dunia, sehingga belum tercapai kesepakatan mengenai moralitas yang bersifat universal.

Sepanjang sejarah kehidupan sosial manusia, istilah MORAL sering digunakan sebagai simbol eksistensi manusia konkret yang terkait dengan kondisi sosial, kultural, sosio-historis, sosio-religiusitas, sosio-ekonomi, sosio-politik, maupun ideologi mereka.

Sejarah dunia saat ini, pada abad ke-21, menganggap moralitas hanyalah sekadar anjuran yang datang dari Rezim Politik, Rezim Sosial, Rezim Kebudayaan, maupun Rezim Keagamaan yang secara terstruktur, sistematis, dan masif memaksakan moralitas kepada anak manusia yang tinggal di muka bumi dengan jargon, semboyan, dan simbol-simbol yang ditanamkan sebagai pilar kebenaran dan kebaikan.

Namun, ketika manusia menjalani kehidupan sosialnya, ternyata banyak penganjur dan pemimpin rezim yang melakukan pelanggaran etis yang dengan ekstrem dapat disebut sebagai tidak bermoral.

Dari berbagai peristiwa sosial ini, demoraliasi seringkali menggambarkan bahwa moralitas tidak lain hanyalah alat bagi rezim untuk menyerang kesadaran manusia agar menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Namun, moralitas yang ideal sebenarnya tidak ada dan tidak akan pernah terwujud.

Lalu, apa yang terjadi di Indonesia? Yang terjadi adalah KEBOHONGAN dan PEMBOHONGAN. Hal ini disebabkan oleh budaya yang telah menjadi gaya hidup hampir setiap jiwa anak bangsa, yaitu identifikasi, imitasi, dan rasionalisasi.

Dalam proses identifikasi, anak bangsa ini terjebak dan terpesona dengan berbagai label yang melekat pada seseorang, seperti “orang suci”, “orang sakti”, “orang bersih”, “orang beriman dan bertakwa”, “orang cerdik”, “cendekiawan”, “agamais”, “dermawan”, “merakyat”, “berjiwa negarawan”, dan banyak lagi istilah yang melekat pada figur yang dianggap panutan.

Kemudian, melalui proses imitasi, mereka meniru figur tersebut dan menjadikannya idola, bahkan dibela mati-matian.

Yang tidak dapat dipahami adalah mereka menjadi penganut dan pengikut figur tersebut dengan berbagai alasan, inilah proses rasionalisasi.

Mereka adalah korban kebohongan dan pembohongan yang dengan ekstrem dapat dikatakan tidak menghargai diri mereka sendiri dan siap sedia menjadi pengikut para pembohong tersebut.

Sedangkan persoalan pembohong dan kebohongan itu sudah menjadi monumen yang bernama Patung Liberty sebagai simbol dari semboyan Revolusi Perancis, yakni: Liberty, Fraternity, dan Equality (Kebebasan, Persaudaraan, dan Kesetaraan).

Ada sedikit himbauan di tengah pesimisme terhadap moral bangsa Indonesia ini:

Oleh karena itu, Moeal Pancasila sebagai dasar karakter bangsa Indonesia wajib diajarkan kepada seluruh anak-anak bangsa Indonesia. Inilah moral yang esensial.

Namun, jika kepercayaan terhadap Pancasila sudah luntur dan memudar, maka Moral Pancasila hanyalah sekadar semboyan, jargon, dan teks sakral yang tidak terhubung dengan perilaku seluruh anak bangsa di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

Jika situasi ini terus berlanjut, maka tidak ada lagi harapan bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita Proklamasi, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Dengan demikian, seluruh anak bangsa Indonesia telah terjerumus ke dalam suatu keadaan entropis yang dijalani dengan langkah-langkah biasa.

Kondisi entropi (ketidakteraturan) ini mengakibatkan terjadinya penjajahan yang tidak kentara di antara sesama anak bangsa Indonesia sendiri. Penjajahan bangsa sendiri!

Selamat belajar dan memahami kondisi obyektif psikologis masyarakat bangsa Indonesia dengan cermat. Salam Kebangsaan Indonesia! ***)

Posted: sarinahnews.com
Surabaya, 23 April 2025