KULTURAL FUNGSIONAL NAHDLIYIN

KULTURAL FUNGSIONAL NAHDLIYIN

Opini:
KULTURAL FUNGSIONAL NAHDLIYIN
Oleh Ayik Heriansyah

(Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jabar – Mahasiswa Doktoral Sosiologi Pedesaan IPB University)

oo0oo

Saya sudah pernah menulis tentang keterbatasan posisi di struktur organisasi NU guna menampung puluhan juta nahdliyin. Hampir dipastikan mayoritas nahdliyin bukan pengurus NU.

Jika tidak menjadi pengurus NU, apakah mereka itu HTI, ISIS, LDII, Syiah dan Ahmadiyah? Ternyata tidak juga. Mereka tetap nahdliyin.

Tidak mungkin semua nahdliyin menjadi pengurus NU. Di sisi lain mereka juga ingin mengaktualisasikan ghirah ke-NU-an. Mereka punya kapasitas, kapabalitas, sumber daya dan jaringan.

Dalam konteks ini keberadaan organisasi, institusi dan lembaga nahdliyin di luar struktur organisasi NU dapat dipahami.

JATMA Aswaja bukan organisasi, institusi dan lembaga pertama yang didirikan oleh nahdliyin di luar struktur organisasi NU. Jauh sebelumnya sudah ada PMII.

Pada akhir 1990-an lahir PKB. Kemudian muncul KMNU. Lalu Himpunan Pengusaha Nahdliyin (HPN). Pasca Muktamar NU ke-34 di Lampung berdiri Lajnah Dakwah Islam Nusantara (Ladisnu). Dan lain sebagainya.

Saya kira di masa yang akan datang ada lagi organisasi, institusi dan lembaga lain yang diinisiasi oleh nahdliyin seiring dengan dinamika sosial, politik dan ke-NU-an.

Sebagai warga negara nahdliyin punya hak konstitusional untuk membuatnya sepanjang sesuai dengan aturan perundang-undangan.

Dan, nahdliyin pun sadar, sepanjang bukan dibentuk melalui forum-forum resmi NU (Muktamar, Konbes) organisasi-organisasi tersebut bukanlah bagian integral dari organisasi NU (NU struktural).

Dengan tanpa mempermasalahkan latar belakang pendirian organisasi, institusi dan lembaga tersebut. Tanpa mau terlibat dalam polemik yang melatarinya. Dengan semangat husnudzan.

Dari persepektif keaswajaan, saya memandang dengan status non struktural NU tersebut, mereka berperan menjalankan fungsi-fungsi pemeliharaan, pelestarian, penumbuhan dan pengembangan paham aswaja di tengah-tengah masyarakat.

Secara tidak sengaja dapat memperingan beban kultural dari NU struktural. Mengatasi keterbatasan-keterbatasannya. Dan secara tidak langsung mengurai kendala-kendala finansial, SDM, dan jaringan.

Untuk memahami kenyataan ini teori strukturasi Giddens tidak cukup. Giddens menjadikan struktur dan agensi sebagai faktor.

Padahal faktor kultural juga mempengaruhi suatu tindakan/praktik sosial sebagaimana teori strukulturgensi yang dikemukakan oleh dosen kami di Sosiologi Pedesaan IPB Prof. Dr. Rilus A Kinseng (2024).

Meskipun berbeda struktur tapi dalam kultur yang sama yaitu aswaja, maka keberadaan organisasi, institusi dan lembaga nahdliyin non NU struktural hanya menghasilkan reproduksi sosial.

Istilah basa Sunda disebut “nahdliyin nahdliyin keneh.” Tidak akan terjadi transformasi sosial yang mengubah nahdliyin menjadi ISIS, HTI, LDII, Syiah atau Ahmadiyah.

Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. ***)

Posted: sarinahnews.com
Jawa Barat, 21 April 2025

Note: Penulis, Ayik Heriansyah, Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jabar – Mahasiswa Doktoral Sosiologi Pedesaan IPB University