Cerpen:
Air Mataku Jatuh
Oleh HM. Usman
Eis, gadis cantik itu menangis terisak-isak di ruang kerjanya.Tubuhnya yang atlistik terguncang terguncang. Tangannya menutupi Wajah.
Wanita cantik, pesolek dan banyak disukai oleh kerabat kerja, saat itu sedang berduka. Dia datang bekerja dikantor kami tiga tahun lalu.
Jabatannya sebagai sekretaris redaksi. Dengan perannya yang cukup penting, selain mengatur undangan dari Instansi juga mengenai pemberitaan. Pendidikan terakhir Sekolah Tinggi Publisistik jurusan komunikasi masa.
Cita-cita nya? ingin jadi reporter. Katanya, agar bisa menyampaikan informasi kepada masyarakat melalui media massa. Eis selalu berpenampilan anggun.
Tubuhnya ideal, berkulit putih, rambut lurus hitam sebahu. Matanya lebar, berbulu lentik. Selalu berpenampilan menarik, dengan pakaian formal.
Ketika berbicara di telepon, suaranya merdu dan bertalenta. Suatu pagi, suasana kantor masih sepi. Dua pelayan wanita hilir mudik, mengantar minuman di dua puluh meja.
Tiba-tiba aku terperangah ketika melihat Eis menangis terisak-isak diruang kerjanya. Tubuhnya yang atlistik terguncang-guncang. Tangannya menutupi Wajah.
Wanita cantik, pesolek dan banyak disukai oleh kerabat kerja, saat itu sedang berduka. Kemarin sore, ketika turun dari lantai tiga menuju lantai dasar, Ia masih sempat bercanda.
Kepada mas Maman bilang, katanya punya pacar banyak, lebih dari tiga orang. Mas Maman yang berjalan disampingnya balik tanya,
“Kenapa Eis bilang punya pacar banyak? Bukankah satu lelaki untuk selamanya?,” ucap Maman sembari memegang tas di pundak wanita cantik itu.
” Ya, pacar Eis memang banyak kok mas. Bahkan ada diantaranya sudah nikah di bawah tangan,” jawab wanita berambut model bob cut ini dengan suara khasnya.
Eis dikenal gadis periang yang memiliki segudang impian. Selalu bersemangat tinggi yang tak pernah pudar. Senyumnya terkembang amat lincah.
Sehingga tak seorang pun tahu, jika sebenarnya ada kesedihan yang melanda jiwa gadis ini.
Seperti pagi ini, biasanya ia sibuk kesana kemari terlihat tak pernah lelah meski kadang ringkih juga fisiknya tak sanggup mengejar laju jiwanya.
“Apa yang terjadi,” tanyaku penasaran.
Tak lama berselang, jari-jemari tangannya yang lentik mengusap mata yang indah itu dengan selembar kertas selampai. Tangis pun berangsur pudar. Gadis itu mulai buka suara.
“Hari ini saya ijin ya pak De,” pintanya memelas.
“Apa yang telah terjadi?,” sekali lagi meyakinkan.
Seperti ia bilang, katanya baru bertengkar dengan mamanya yang sudah setahun menjanda.
“Saya kesal melihat tingkah Mama. Semalam ketahuan tidur sama laki-laki. Ketika laki-laki itu saya usir, Mamah justru marah, minta laki-laki itu untuk bertahan,” kata dia dibawah sadar, telah membuka aib orang tuanya sendiri.
Hari itu Eis ijin tidak masuk kerja. Katanya ada kepentingan keluarga.Tadi juga bilang, selama masih ada masalah, ia untuk tidak akan mengaktifkan telepon genggam yang ia punya.
“Kalau ada yang mencari saya, sampaikan sedang tugas diluar kota ya pak De,” pintanya memelas.
Aku berjanji untuk menyampaikan dengan anggukan kepala. Eis pergi tinggalkan ruangan. Aroma farfumnya masih tersebar dibalik pintu berwarna ungu.
Tiga jam sepeninggal Eis, telpon manual dikantor terus berdering. Mbak Lia seorang petugas resepsiones hingga geleng-geleng kepala. Katanya, sudah ada puluhan penelpon dengan maksud yang sama.
“Selain mengaku kepentingan pribadi. Ada lima penelpon dari luar kota. Tiga di antaranya penulis lepas yang sudah banyak menyumbangkan karya tulisnya ke majalah kita. Katanya honorium yang seharusnya ia terima, sudah tiga terbitan belum juga di transfer,” ungkap Lia mengutip.
Sebagai redaktur pelaksana di kantor perusahaan majalah ini, aku turut prihatin. Sebelumnya saya beranggapan, si gadis itu punya segalanya. Ternyata,dia hanya ingin lari dari kenyataan.
Namun suatu hari, mendung mulai hinggap. Satu per satu lembar kertas impiannya tak tercapai. Gelisah, hilang arah, tangis, bingung, semua campur aduk.
Air Mataku Jatuh. Aku telah gagal memperbaiki Jiwa seorang anak manusia yang kukasihani Karena nasibnya. ***)
Posted: sarinahnews.com
Malang, 17 Maret 2025
Note:
Judul, “Air Mataku Jatuh” ditulis oleh H. Mansyur Usman.
Ini cerita fiksi. Nama tokoh dan tempat
Kejadian khayalan. Jika terjadi kesamaan cerita, itu hanya kebetulan