Esai, Muhidin: Pramoedya Ananta Toer, ”Memasak” di Pantai Indah Kapuk

Esai, Muhidin: Pramoedya Ananta Toer, ”Memasak” di Pantai Indah Kapuk

 

JAKARTA, SARINAH NEWS, – Meluasnya isu pagar laut, heroiknya aksi pencabutan patok bambu puluhan kilometer, dan rumitnya permasalahan agraria di pantai Batavia (Jakarta) dan Benteng (Tangerang) sesungguhnya isu yang sangat menakutkan.

Makin ke sini, gelombang suara iblis sejarah itu mulai bersahutan. Diksi ”Aguan”, ”PIK 2”, ”PSN”, ”PANI”, ”Cina” menjadi kendaraan iblis sejarah itu untuk membesar lagi.

Saya tidak mengerti, apakah pedagang raksasa (oligarki) seperti Sugianto Kusuma alias Aguan yang menjadi kolaborator penguasa Paleis te Koningsplein ini mengetahui alarm Pramoedya Ananta Toer bahwa konflik garis pantai Teluk Naga dan Kosambi kelak bisa menjadi bumerang sosial republik yang memang tak pernah selesai dengan isu rasial bernama ”Anti-Cina”.

Pram mengajarkan kita untuk bisa mendeteksi secara dini api rasialisme yang bisa membakar sebuah kota yang umumnya muncul dari akumulasi kekecewaan dengan ditandai menguatnya suara ”Anti Kebudayaan Asing”.

Terutama, jika suara itu mulai ditiupkan oleh kaum yang biasa menyelesaikan persoalan dengan nalar kekerasan dan senjata.

Lihatlah, PP 10/1959 yang terbit pada November 1959 itu sesungguhnya kebijakan ekonomi yang berasal dari Departemen Perdagangan yang dipimpin Rachmat Muljomiseno.

Kebijakan itu dengan sangat cepat menjadi tungku bakar sosial tatkala yang tampil di muka mikrofon publik adalah para perwira Angkatan Darat.

Apalagi, di saat yang bersamaan perangkat hukum kekerasan lain tinggal menunggu pengesahan: UU Keadaan Bahaya (UUKB). Dengan undang-undang ini, ”Seluruh Wilajah Republik Indonesia Dinyatakan dalam Keadaan Perang”.

Peraturan yang mulanya menata persaingan warung Tionghoa dan koperasi itu, dengan disokong UUKB, berubah menjadi pengusiran semua ”Pedagang Asing” dari Sesa dan Kecamatan.

Sesuatu yang sifatnya masih level ”Warung” berubah drastis dalam hitungan hari menjadi eskalasi kekerasan sosial yang brutal.

Pram menghitung ada setengah juta eksodus Hoakiau (Tionghoa peranakan). Pengusaha yang level ”Warung” dan ”Pangkalan” diusir paksa dengan tuduhan sebagai ”Pengacau Ekonomi”.

Lihat, sebelum mesin pengusiran massal itu di-”Oke Gas”-kan, seratusan ribu pengusaha Tionghoa kelas warung didehumanisasi, direndahkan martabatnya dengan sebutan ”Asing” dan ”Gerombolan Pengacau Ekonomi”.

Perendahan itu menjadi tiket terusan dengan dampak kerusakan sosial yang mengerikan.

Di bulan saat PP No 1959 itu disahkan, di bulan saat operasi penghancuran ”Gerombolan pengacau ekonomi” itu dijalankan, Pram berteriak lewat tiga serial esai awal ”Melawan Kebudayaan Kuning” (Bintang Timur, 26, 27, 30 November 1959).

Di bagian akhir, Pram mengingatkan, betapa bahayanya isu kebudayaan (”Asing”) ketika mengikutkan polisi dan tentara.

Suara Pram itu reaksi pertama dan berbenturan dengan para pembesar militer dan kepolisian Dinas Pengawas Kesehatan Negara seperti Ajun Komisaris Besar Sempu Moeljono yang getol betul membicarakan ”Batas-batas Kebudayaan Asing”.

Karena golnya bukan ”Kebudayaan Asing”, melainkan pengusiran rasial dengan dalih penegakan ekonomi nasional koperasi, Pram meluaskan suaranya menjadi esai panjang yang kemudian oleh penerbit Bintang Press (Grup Koran Bintang Timur) dilambari judul “Hoakiau di Indonesia”.

Akibatnya, Harian Bintang Timur diberedel dan Pramoedya Ananta Toer diterungku di penjara Cipinang selama setahun tanpa proses pengadilan.

Perkawinan PP No 10/1959 dengan UU Keadaan Bahaya yang dioperasikan Peperda atau penguasa perang daerah (baca: Angkatan Darat) memungkinkan semua suara berbeda disingkirkan.

Harian Rakjat milik PKI enam kali dipadamkan; koran milik Masyumi, Abadi, dimatikan. Bahkan, polemik media massa yang mulanya hal biasa dilikuidasi paksa. Pimpinan partai dibariskan ke kantor interogasi Peperda.

Inilah periode bagaimana para perwira tinggi militer republik ini fasih sekali berbicara dunia warung, terutama kosongnya ribuan warung yang ditinggalkan secara paksa pedagang Hoakiau.

Inilah masa di mana kita terbiasa membaca headline koran seperti ini: ”Ibukota Butuhkan 5000 Toko Sandang-Pangan: Dew. Peperda Rundingkan Masalah Pedagang Asing”.

Komandan Peperda Swatantra I Jakarta Raya Letkol Umar Wirahadikusumah (akrab dengan nama ini?), selain serius membicarakan warung, juga terus mengaitkan bahwa warung Tionghoa sebelumnya itu banyak dipakai gerombolan (PRRI/Permesta/DI TII).

Di Bandung, di kota penuh gaya dan bersolek internasional itu, Komandan PKP KMKB Letkol Amir Machmud (tidak asing dengan nama ini, bukan?) menerbitkan pengumuman Bandung Kota Tertutup bagi warga negara asing dan menginstruksikan pamong praja dan polisi inspeksi Priangan mengambil tindakan preventif dan represif bila ada yang melanggar instruksinya. Padalarang dan Ujungberung ditunjuk sebagai kamp penampungan orang-orang usiran.

Betapa memilukannya nasib kaum Tionghoa ini. Esai Pram soal Hoakiau di tahun 1960 ini memperlihatkan kegetiran sebuah kaum yang selalu menjadi tumbal sosial.

Di satu sisi, mereka menjadi ATM yayasan-yayasan pelumas kekuasaan yang tak tercatat dalam pembukuan negara.

Sementara di sisi lain, mereka terus dipersekusi, dituduh pro komunis, pro DI/TII dan PRRI/Permesta, dan puncaknya dirantai.

Dan, pada saat yang sama para pengusir yang tidak punya pengetahuan dasar apa-apa soal ilmu dagang itu berbondong-bondong mengisi kekosongan warung dan distribusi barang skala receh di perdesaan.

Pada momen #SeabadPram, kita mengingat ada seorang sastrawan, jurnalis budaya, dan periset sejarah yang tangguh berdiri tanpa bergerombol membela setengah juta manusia republik yang dipersekusi secara brutal karena mereka Tionghoa, karena mereka ”Asing” lewat operasi militer terbuka.

Pram membayar lunas advokasi itu dengan menulis memoarnya sendiri pada 1961 di ruang busuk: ”Sebuah Memoar: Pendjara Tjipinang”.

Pada momen #SeabadPram, mari kita ingat lagi terbakarnya Kota Situbondo, Tasikmalaya, Pasuruan, Makassar, Banjarmasin, Kebumen, Pekalongan, Rengasdengklok, hingga puncaknya di Jakarta pada 1997–1998 dengan isu yang sama dan dengan pola yang sama pula.

Selamat ulang tahun ke-100, Pram. Menyala Abangkuh. Di garis pantai PIK, mari (kembali) memasak bebek peking dan mengiris bawang tipis-tipis. Itu. (*)

 

 

Reposted: sarinahnews.com.                        Jakarta, 8 February 2025

 

Note: Esai ini berjudul, “Pramoedya Ananta Toer, ”Memasak” di Pantai Indah Kapuk” ditulis oleh Muhidin M. Dahlan

Sumber tambahan, Biography Pramudia Ananta Toer,

https://tirto.id/dari-blora-ke-jakarta-pertaruhan-hidup-pramoedya-ananta-toer-geh3